Minggu, 15 Desember 2013
Browse Manual »
Wiring »
dagang
»
makelar
»
senjata
»
siasat
»
Siasat Dagang Makelar Senjata

Siasat Dagang Makelar Senjata
Jatuhnya pesawat Hawk di Riau memperjelas kabar yang selama ini terdengar samar: peralatan militer Indonesia sudah ketinggalan zaman. Dari 234 unit pesawat tempur, hanya separuh yang layak terbang. Tiga angkatan TNI menghadapi kondisi yang kurang-lebih sama. Angkatan Darat, misalnya, masih menggunakan sejumlah peralatan tempur yang lebih tua daripada usia jenderalnya.

Majalah Tempo edisi Senin 29 Oktober 2012 menurunkan laporan utama berjudul "Repot Mencari Simbah" mengenai pengadaan alat utama sistem senjata. Selain uzur, peralatan  itu dibeli dari banyak negara sehingga platformnya pun berbeda-beda. Itu  sebabnya, dalam urusan pembelian senjata, kerap terdengar olok-olok  bahwa penentunya bukan angkatan, melainkan rekanan. Peran pihak ketiga  alias makelar dalam pengadaan peralatan militer ditengarai bahkan lebih  dominan dibandingkan dengan penggunanya.
Broker, yang  mewakili produsen, umumnya menyorongkan peralatan pada awal masa  penyusunan anggaran. Angkatan atau Kementerian Pertahanan kemudian  menyusun spesifikasi pembelian peralatan militer berdasarkan tawaran  itu. Tentu saja, seperti yang terjadi pada pembelian helikopter tempur  Mi-17 dari Rusia pada 2007, suap mewarnai proses ini. Analis militer  menyebutkan pembelian model ini berdasarkan desakan pemasok (supplier  driven factors) dan tak semata muncul dari kebutuhan (need driven  analysis).
Potensi korupsi dalam pengadaan alat utama  sistem persenjataan memang sangat besar. Soalnya, peralatan militer  memiliki spesifikasi khusus yang acap tidak ada pembandingnya.  Produsennya pun terbatas, bahkan pada beberapa peralatan hanya ada  produsen tunggal. Apalagi, dengan alasan rahasia, pengadaan dilakukan  melalui penunjukan langsung. 
Meski dinyatakan telah jauh  berkurang, peran makelar--juga korupsi--dalam pembelian senjata ternyata  masih cukup besar. Dengan karakteristik peralatan yang dibeli, seperti  dikatakan Said Didu, Asisten Bidang Kebijakan Komite Kebijakan Industri  Pertahanan, peluang tertinggi terjadinya kebocoran ada pada Angkatan  Laut, dan yang terkecil pada Angkatan Darat.
Peluang  korupsi dalam pengadaan alat militer itu semestinya segera ditutup.  Peran makelar juga sepatutnya diakhiri. Apalagi anggaran belanja alat  tempur ini meningkat setiap tahun. Dari sekitar Rp 28 triliun tahun ini,  dua tahun mendatang anggaran itu sudah Rp 43,8 triliun. Pada 2030,  alokasi dana untuk belanja alat utama sistem persenjataan akan menembus  Rp 100 triliun. Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar