Selasa, 18 Februari 2014
Browse Manual »
Wiring »
garuda
»
pebajakan
»
peristiwa
»
pesawat
»
woyla
»
Peristiwa Woyla Pebajakan Pesawat Garuda
Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” bernomor penerbangan 206 tujuan Jakarta-Medan dengan Captain Pilot Herman Rante dan Co-Pilot Hendy Juwantoro lepas landas dari Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta menuju Bandara Polonia, Medan. Saat itu belum ada penerbangan langsung Jakarta-Medan, sehingga pesawat harus transit (stop over) di Palembang. Setelah pesawat take off dari Bandara Talang Betutu Palembang dan sedang berada di atas Pekan Baru, mendadak 5 orang menyerbu kokpit, menyandera pilot dan seluruh awak pesawat. Pembajak seluruhnya orang Indonesia bersenjatakan granat, senjata api, dan dinamit memberikan tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Berita pertama pembajakan tersebut mulai diketahui pada pukul 10.18, saat Kapten Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda yang baru tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari Garuda Indonesia 206 (Woyla) yang berbunyi “..being hijacked, being hijacked”. Berita tersebut langsung diteruskan ke Jakarta.
Pembajak memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat ke luar negeri, pokoknya sejauh mungkin meninggalkan Indonesia. Permintaan ini jelas tidak bisa dipenuhi pilot, karena sebagai pesawat penerbangan domestik, jumlah bahan bakar yang dibawa terbatas. Pada awalnya pembajak meminta pesawat diterbangkan ke Kolombo, Sri Lanka. Tetapi akhirnya pesawat dibawa ke Pulau Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar dan selanjutnya dibawa menuju Thailand. Kepada otoritas penerbangan Thailand, pembajak meminta supaya mereka boleh mendarat di Pangkalan Udara U Tapao. Tetapi karena minimnya fasilitas disana, kemudian mereka diijinkan mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok dan ditempatkan pada jarak sekitar 2,5 km dari landasan utama.
Peristiwa Woyla Pebajakan Pesawat Garuda
Tragedi Woyla
Garuda  Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan sebutan Peristiwa  Woyla adalah sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari pelabuhan  udara sipil Talangbetutu, Palembang ke Bandara Polonia, Medan yang  mengalami insiden pembajakan pesawat pada 28 Maret 1981 oleh lima orang  teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri  sebagai anggota kelompok Islam ekstremis "Komando Jihad". Penerbangan  dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul  08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan  perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut  tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar  sebagai penumpang.
Pembajakan
28 Maret 1981Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” bernomor penerbangan 206 tujuan Jakarta-Medan dengan Captain Pilot Herman Rante dan Co-Pilot Hendy Juwantoro lepas landas dari Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta menuju Bandara Polonia, Medan. Saat itu belum ada penerbangan langsung Jakarta-Medan, sehingga pesawat harus transit (stop over) di Palembang. Setelah pesawat take off dari Bandara Talang Betutu Palembang dan sedang berada di atas Pekan Baru, mendadak 5 orang menyerbu kokpit, menyandera pilot dan seluruh awak pesawat. Pembajak seluruhnya orang Indonesia bersenjatakan granat, senjata api, dan dinamit memberikan tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Berita pertama pembajakan tersebut mulai diketahui pada pukul 10.18, saat Kapten Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda yang baru tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari Garuda Indonesia 206 (Woyla) yang berbunyi “..being hijacked, being hijacked”. Berita tersebut langsung diteruskan ke Jakarta.
Pembajak memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat ke luar negeri, pokoknya sejauh mungkin meninggalkan Indonesia. Permintaan ini jelas tidak bisa dipenuhi pilot, karena sebagai pesawat penerbangan domestik, jumlah bahan bakar yang dibawa terbatas. Pada awalnya pembajak meminta pesawat diterbangkan ke Kolombo, Sri Lanka. Tetapi akhirnya pesawat dibawa ke Pulau Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar dan selanjutnya dibawa menuju Thailand. Kepada otoritas penerbangan Thailand, pembajak meminta supaya mereka boleh mendarat di Pangkalan Udara U Tapao. Tetapi karena minimnya fasilitas disana, kemudian mereka diijinkan mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok dan ditempatkan pada jarak sekitar 2,5 km dari landasan utama.
Para  teroris juga menuntut kepada pemerintah untuk membebaskan sejumlah  tahanan dari Peristiwa Cicendo 11 Maret 1981, Teror Warman serta Kasus  Komando Jihad serta meminta tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5  juta dollar AS. Mereka juga meminta pesawat untuk pembebasan tahanan,  untuk diterbangkan ke suatu tempat yang dirahasiakan. Para teroris yang  seluruhnya bersenjata api itu juga mengancam jika tuntutan itu tidak  dipenuhi akan meledakkan Woyla dan seluruh penumpangnya. Mereka telah  menanam bom di pesawat.
Menghadapi keinginan tersebut, TNI dan Pemerintah tidak menyerah. Berita ini kemudian diterima oleh Wakil Panglima ABRI/ Panglima Komkamtib, Laksamana Sudomo. Saat itu kekuatan pasukan ABRI sedang tidak terpusat di Jakarta karena sedang diadakan Latihan Gabungan (latgab) di Ambon. Berita mengenai pembajakan ini oleh Sudomo diteruskan ke Ambon dan diterima langsung oleh Assisten I Intelejen Hankam, Letnan Jendral Leonardus Benjamin Moerdani, yang lebih dikenal dengan nama Benny Moerdani. Informasi ini oleh Benny Moerdani disampaikan langsung kepada Panglima ABRI, Jendral Andi Muhammad Yusuf, yang lebih dikenal dengan nama M.Yusuf. Jendral M.Yusuf kemudian mempercayakan kepada Benny untuk menyelesaikan masalah ini bersama Kepala BAKIN, Jendral Yoga Soegama. Mereka kemudian diperintahakan untuk kembali ke Jakarta dan menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tidakan selanjutnya. Yoga mendapat tugas untuk segera terbang ke Thailand, menjemput sandera sambil “bernegosiasi” dengan para pembajak, dengan tujuan mengulur-ulur waktu. Sementara Benny bertugas menyiapkan pasukan dan menyusun rencana operasi penumpasan pembajak.
Menghadapi keinginan tersebut, TNI dan Pemerintah tidak menyerah. Berita ini kemudian diterima oleh Wakil Panglima ABRI/ Panglima Komkamtib, Laksamana Sudomo. Saat itu kekuatan pasukan ABRI sedang tidak terpusat di Jakarta karena sedang diadakan Latihan Gabungan (latgab) di Ambon. Berita mengenai pembajakan ini oleh Sudomo diteruskan ke Ambon dan diterima langsung oleh Assisten I Intelejen Hankam, Letnan Jendral Leonardus Benjamin Moerdani, yang lebih dikenal dengan nama Benny Moerdani. Informasi ini oleh Benny Moerdani disampaikan langsung kepada Panglima ABRI, Jendral Andi Muhammad Yusuf, yang lebih dikenal dengan nama M.Yusuf. Jendral M.Yusuf kemudian mempercayakan kepada Benny untuk menyelesaikan masalah ini bersama Kepala BAKIN, Jendral Yoga Soegama. Mereka kemudian diperintahakan untuk kembali ke Jakarta dan menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tidakan selanjutnya. Yoga mendapat tugas untuk segera terbang ke Thailand, menjemput sandera sambil “bernegosiasi” dengan para pembajak, dengan tujuan mengulur-ulur waktu. Sementara Benny bertugas menyiapkan pasukan dan menyusun rencana operasi penumpasan pembajak.
Melalui  berbagai upaya diplomasi dengan pembajak juga Pemerintah Thailand,  Kabakin dan Letjen L. Benny Moerdani berhasil mengulur waktu dan  mendapat ijin dari Pemerintah Thailand.

Saat  pembersihan dilakuakan, Benny menyusup masuk ke dalam kokpit. Ia  mengambil alih radio di pesawat. Kepada Yoga yang masih sabar berjaga,  terjadi percakapan antara Benny dan Yoga.
“This is two zero six, could I speak to Yoga please?”
“Yes, Yoga is here…”
“Pak Yoga, Benny ini..”
“Diancuk, neng ngendi kowe???” (Sialan, dimana kamu??)
Akhirnya semua sandera diselamatkan dan seluruh pembajak dapat diringkus.

-Pesawat Garuda DC-9 Woyla-
Penyergapan dan Pembebasan
Pada  tanggal 31 Maret, 30 Prajurit Kopassandha TNI AD (Korp pasukan sandhi  Yudha) yang kini bernama Kopassus di bawah Komandan Letnan Kolonel  Infanteri Sintong Panjaitan mendekati Woyla secara diam-diam. Namun  beberapa saat sebelumnya Pemimpin  CIA di Thailand menawarkan pinjaman jaket Anti-Peluru, namun ditolak  karena pasukan Kopassandha Indonesia telah membawa perlengkapan mereka  sendiri dari Jakarta.
Pukul 02.30 semua  tim akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, Tim Thailand  ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris  yang lolos. Ketika penyerbuan pada Selasa dini hari pukul 02.45 WIB seluruh pintu pesawat Woyla didobrak 30 prajurit Kopassandha,  ternyata tak semuanya sesuai dengan skenario yang direncanakan. Saat  menyerbu kokpit, pembajak menembak pilot Herman Rante hingga terluka  parah pada bagian kepala. Ketika pasukan menyerbu pintu belakang,  terdapat waktu sela supaya pintu dapat terbuka sepenuhnya, karena  mekanismenya buka-tutup pintu dilakukan secara elektris. Setelah pintu  terbuka, pasukan masuk. Karena sebelumnya terdapat waktu sela saat pintu  membuka, pembajak yang ada di dekat pintu sudah bersiap menembakkan  senjatanya.
Seorang prajurit bernama Achmad Kirang yang menerobos masuk terkena tembakan pembajak.Peluru  menembus bagian badan Kirang yang saat itu tidak terlindung rompi anti  peluru (flack jacket). Achmad Kirang terluka, tetapi pasukan yang  bersamanya langsung menembakkan senjata yang merobohkan si pembajak.  Pembajak juga sempat melemparkan granat ke arah pasukan. Tetapi karena  kurang terlatih, granat tidak meletus karena cara mencabut pen yang  tidak benar.
Seorang  pembajak mencoba membaur dengan penumpang lain menuruni tangga pesawat.  Tetapi penumpang lain menunjuk-nunjuk ke arahnya dan memberitahu bahwa  ia adalah salah seorang pembajak. Melihat gelagat ini, pembajak tersebut  berlari menjauh daari penumpang. Melihat gelagat mencurigakan ini tanpa  ampun pasukan menghajarnya dengan berondongansenapan serbu M16. Ia terjatuh dan tewas seketika.
“This is two zero six, could I speak to Yoga please?”
“Yes, Yoga is here…”
“Pak Yoga, Benny ini..”
“Diancuk, neng ngendi kowe???” (Sialan, dimana kamu??)
Akhirnya semua sandera diselamatkan dan seluruh pembajak dapat diringkus.
Pasca Penyelamatan
Pilot  Herman Ranted an Achmad Kirang meninggal dunia di RS. King Bumibhol,  Bangkok. Mereka kemudian dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta dengan  upacara kebesaraan.
Sementara  para terrorist dan Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa  pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981. Imran merupakan salah  seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi,  Salman Hafidz, serta 11 orang lainnya. Maman dan Salman bernasib sama  dengan Imran dan dieksekusi dalam hukuman mati.
Mengharumkan Nama Bangsa
Peristiwa  ini berhasil mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional, secara  khusus Kopasandha (sekarang Kopassus). Para pasukan tersebut oleh  presiden akhirnya mendapat kenaikan pangkat satu tingkat dan anugerah  Bintang Sakti. Khusus untuk almarhum Achmad Kirang, ia mendapatkan  kenaikan pangkat luar biasa 2 tingkat. Bintang Sakti merupakan  penghargaan tertinggi bagi seorang prajurit. Tidak semua prajurit bisa  mendapatkan anugerah ini. Bintang Sakti hanya diberikan kepada prajurit  dengan dedikasi yang tinggi yang melakukan pekerjaan melebihi panggilan  tugas. Dari sini kemudian terbentuk tim anti teror di Kopasandha yang  sampai sekarang dikenal dengan nama Satuan 81 (Sat-81). Angka 81 diambil  dari tahun terjadinya pembajakan, 1981.
Dari tulisan di atas, kita dapat mengetahui betapa perkasanya Kopassus sehingga dapat melumpuhkan teroris walau beberapa orang menjadi korban. Padahal saat itu Kopassus belum berpengalaman menghadapi pembajakan pesawat oleh teroris, dan semoga ini menjadi pelucut semangat para aparat keamanan di negara ini agar menjalankan tugas dengan sepenuh hati, tanpa mengharap imbalan dan tidak takut mati demi melindungi dan mengayomi sesama.
Sumber  :  http://idetected.blogspot.com/2011/06/woyla_01.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar